Selamat datang di Kawasan Penyair Nusantara Bali. Terima kasih atas kunjungan Anda.

Minggu, 14 Oktober 2007

Tan Lioe Ie


Lahir di Den Pasar. Pernah kuliah di Fakultas teknik Arsitektur Universitas Jakarta. Menyelesaikan S1 Manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Udayana. Karya-karyanya termuat di media massa seperti Bali Post, Horison, Berita Buana, Suara Merdeka, Kompas, Media Indonesia, CAK, Coast Lines, Bali The Morning (Indonesia – Inggris), Antologi Menagierie 4 (Bahasa Inggris), Perjalanan, Utan Kayu Tafsir dalam Permainan, Mimbar Penyair Abad 21, Bonsai’s Morning (Bahasa Inggris), Living Togethte Utan Kayu International Literary Biennale, 2005 (Indonesia-Inggris) dan lain-lain. Kumpulan Tunggalnya “Kita Bersaudara” sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris “ We Are All One “ oleh Dr. Thomas Hunter Jr. Tan merupakan penyair pertama Indonesia yang melakukan “eksplorasi” atas ritual dan mitologi Tionghoa untuk puisi bahasa Indonesia. Buku Puisi Malam Cahaya Lampion, pernah memenangkan lomba penulisan sastra buku. Salah satu puisinya :

Catatan Gila

Tanganmu pucat disergap dingin
musim gila yang angkuh
Seperti ketukan-ketukan hujan di genting
Kau meracau di dunia yang kau bangun sendiri

Setiap kita akan sendiri, katamu
Apa salahnya terbiasa sejak dini?
Bertarung atau berdamai dengan diri

Setiap kita akan sendiri
Lapar kita, lapar sendiri
Mengunyah kata dari batu hidup
Melahap kita di laju senyap waktu
Sakit kita, sakit sendiri
Menebar gigil di daging
yang lebur membumi
Bumi yang berabad-abad berpaling dari kaummu
Kaum yang mudah menertawakan diri
Mudah pula menertawakan luka diri
yang paling perih.

Waktu mengiris senja
Menyisakan segurat samar cahaya
Kesamaran yang mengaburkan pandang
mata yang dahaga
Mata pemburu cahaya
Sampai kerlip terkecil kunang-kunang semu di bujur pantai
Mata yang mencoba menembus
Batas laut dan daratan yang dihapus malam.
Beri aku bintang sejuta
Bulan beribu
Atau jadikan aku cahaya, pintamu
entah pada siapa

Maka tak lagi malam menebar cekam seringai hantu
Yang menyelinap ke benak, saat kau pejam
Yang memburumu sekilat pikiran
Melayang-layang tak teraih
Mengapung-apung tak tentru arah.

Semakin pucat saja tanganmu
Semakin angkuh saja musim gila ini
Dan masih juga kau meracau sendiri
Di dunia yang sendiri
Tempat setiap kita akan sendiri.

I Made Suantha

Lahir di Sanur, 24 Juli 1967. Mulai menulis sajak sejak di SMP tahun 1984. Sajak-sajaknya dimuat di Mutiara, Bali Post, Pelita, Berita Buana, Suara Karya, Nusa Tenggara, Karya Bakti dan lain-lain. Tahun 1987 diundang Dewan Kesenian Jakarta dalam Forum Puis Indonesia 1987 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Tahun 1992 diundang pada Festival Puisi di Surabaya. Kumpulan puisi tunggalnya Peniup Angin (1989), Togog Yeh (2002) bersama HRAM (I Ketut Suwidja, I Nyoman Wirata, Adhy Ryadi, (1988), Silaturahmi Kupu-Kupu (bersama Sindu Putra,2005). Salah satu puisinya :

Equilibrium Kupu-kupu (1)

Malam terlahir karena kerlip kunang-kunang
Siapa terlahir ditengah isak. Didalam perasan mawar
Dipusaran madu yang terperah dari lenguh lembu
“mata air !”

Peladang kabut menyemai ilalang disebuah taman bunga
Menjadi gubuk dengan tiang pohon tanpa getah !
Kunang-kunang menyembunyikan gema
Menenggelamkan senja disela bayangan
Yang melengkung di dalam cahaya. Angin menyentuhmu
Sangat pekat. Kau berdiam
Dingin karam di diri : kulintasi matahari
Mengenal air mata yang sudah terbakar
Dibawah ufuk:burung-burung berganti kicau
Dengan lenguh sapi meluku endapan air
Menera panas
Dan ngiang kupu-kupu memekarkan musim bunga ?

Malam tanpa jarak dengan terbang kelekatu
Siapa menunggu di rumah ilalang : menyamak lelehan
Madu dan memahami rahasia kupu-kupu di sekuntum bunga ?
Kunang-kunang menera sinar bulan,”aku jadi beku
Pada panas kalbu !”
Jiwaku limbung, menanam warna terburai
Dari bayangan lembab !
Cuaca kembar berdarah : singatan dan gigilan
Pohon terpaku diantaranya !
Patung air. Patung air. Kupu-kupu membentuknya
Kusemai pada lendir darah : tumbuhlah hamparan
Memuati pelabuhan burung
Dan cahaya dingin teduh
Memanjangkan jejak kupu-kupu yang kembali
“aku telah menulis bening mata air !”